TAFSIR AHKAM SURAT AN-NUR AYAT 32-34 (materi perkuliahan Akhwalusyaksiyyah)

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya. Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan ketentraman. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Keutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.
Sebagaimana firman Allah: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Al-Rum:20).
Dengan melihat idealnya hikmah dari pernikahan, maka Allah melalui ayat yang lain yaitu ayat 32-34 pada surat An-Nur. Dimana didalamnya menjelaskan tentang anjuran menikah dan larangan melacur. Berdasakan hal tersebut, penulis akan memaparkan penjelasan dalam rangka mengupas secara mendetail kandungan ayat tersebut. Dengan tujuan agar kita dapat memahami secara mendalam dan komprehensif tentang pemahaman yang terdapat di dalam ayat tersebut. Karena ayat tersebut merupakan salah satu ayat ahkam yang ada di dalam al-Qur’an.


Rumusan Masalah
Bagaimana makna global dalam ayat tersebut serta munasah ayat dengan ayat sebelumnya?
Bagaimana analisis hukum dan hikmat al-tasyri’ yang terkandung dalam ayat tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN

Firman Allah dalam surat Al-Nur: 32-34:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (۳۲) وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (۳۳) وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ آَيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلًا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (۳۴)
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(32).
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan merek], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”(33).
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”(34).
Al-Ma’na al-Ijmali
Nikahkanlah orang-orang yang belum bersuami atau belum beristri. Tegasnya, berikanlah pertolongan kepada mereka sehingga mereka dapat melaksanakan pernikahan.
Nikahkanlah juga budak-budakmu, baik laki-laki maupun perempuan yang sanggup berumah tangga, sanggup memenuhi haknya, sehat badan, bekecukupan serta dapat melaksanakan hak-hak agama yang wajib bagi mereka. Janganlah kamu melihat kemiskinan orang yang meminang atau kemiskinan orang yang akan kamu nikahi. Karena Allah mempunyai keluasan dan kekayaan. Tidak ada penghabisan bagi keutamaan-Nya dan tidak ada batasan bagi kodratnya. Dia bisa memberi rezeki yang cukup kepada suami istri tersebut. Serta Allah juga Maha mengetahui. Dia memberi rezeki yang lapang kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia menyempitkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki.
Bagai mereka yang tidak memperoleh jalan yang memungkinkan untuk menikah, hendaklah meneguhkan niatnya sampai mempunyai kemampuan untuk itu.
Apabila budakmu yang ingin memerdekakan diri secara mukatabah, dengan cara membayar uang tebusan sesuai perjanjian, maka penuhilah keinginan mereka dan jadikanlah mereka orang yang merdeka setelah mereka memenuhi apa yang telah diperjanjikan. Serta Allah juga mendorong para tuan (pemilik) budak yang bersangkutan untuk memberikan sebagian hartanya kepada budak yang dimilikinya untuk dapat dipergunakan membayar tebusan atas dirinya.
Janganlah memaksa budak perempuanmu supaya mereka melacurkan diri untuk mencari kekayaan, sedangkan mereka sesungguhnya tidak mau malakukannya. Perempuan yang dipaksa melacur akan diampuni dosanya oleh Allah dan dosa itu dipikul oleh orang yang memaksanya.
Kami (Allah) telah menurunkan kepadamu ayat-ayat al-Qur’an yang nyata, yang menjelaskan segala apa yang kamu perlukan. Sebagaimana Allah telah menurunkan kisah-kisah umat terdahulu dan berbagai macam pelajaran yang menjadi ibarat atau contoh bagi semua orang yang bertaqwa.

Asbabul Nuzul Ayat
Untuk lebih memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an, kiranya diperlukan pengetahuan latar belakang turunnya (Asbabul Nuzul) ayat tersebut. Imam Al-Wahidi berpendapat bahwa mengetahui tafsir suatu ayat al-Qur’an tidaklah mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwa dan kejadian turunnya ayat tersebut. Ibnu Daqiqil ‘Id berpandangan bahwa mengatehui keterangan tentang kajadian turunnya suatu ayat merupakan cara yang paling baik untuk memahami makna ayat tersebut. Begitu juga Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa mengetahui asbabul nuzul suatu dapat menolong kita dalam memahami makna ayat tersebut.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tidak semua ayat al-Qur’an mempunyai asbabul nuzul. Dari tiga ayat al-Qur’an dalam pembahasan tentang anjuran menikah dan larangan melacur ini, hanya ada satu ayat yang mempunyai asbabul nuzul yaitu ayat: 33. Berikut inilah beberapa riwayatasbabul nuzul ayat tersebut.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sakan dalam kitab Ma’rifatush Shahabah dari Abdullah bin Shuhaibah yang bersumber dari bapaknya.
Dikemukakan bahwa Shubaih, hamba sahaya Huwaithib bin ‘Abdil ‘Uzza, meminta dimerdekakan dengan perjanjian tertentu. Akan tetapi permohonannya ditolak, maka turunlah ayat ini (Q.S. An-Nur:33).
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sufyan yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay menyuruh jariahnya (hamba sahaya wanita) melacur dan meminta bagian dari hasilnya. Jariah tersebut bernama Masikah dan Aminah yang mengadukan kepada Rasulullah tentang hal tersebut. Lanjutan dari ayat ini (Q.S. An-Nur:33) berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abuz Zubair yang bersumber dari Jabir.
Dikemukakan bahwa Masikah itu jariah milik seorang Ansar. Ia mengadu kepada Rasulullah bahwa tuannya memaksa untuk melacur.
Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabarani dengan sanad yang sahih, yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai seorang jariah yang suka disuruh melacur sejak zaman jahiliah. Ketika zina diharamkan, jariah tersebut tidak mau lagi melakukannya.
Diriwayatkan oleh sa’id bin Manshur dari Sya’ban, dari Amr bin Dinar yang bersumber dari Ikrimah.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai dua orang jariah, Mu’adzah dan Masikah. Keduanya dipaksa untuk melacurkan diri. Berkatalah salah seorang di antara kedua jariah itu: “sekiranya perbuatan itu baik, engkau telah memperoleh hasil banyak dari perbuatan itu, namun sekiranya perbuatan itu tidak baik, sudah sepantasnya aku meninggalkannya”.


Munasabah Ayat
Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah telah memperingatkan kita untuk berhati-hati dari pelacuran dan tindakan yang tidak bermoral. Kemudian allah melarang perbuatan zina dan segala motif yang bisa mengantarkan pada perbuatan zina, seperti melihat perempuan, bercampur dengan mereka, membuka aurat, memperlihatkan perhiasan, memasuki rumah tanpa ada izin dan sebagainya. Dimana hal tersebut dapat merusak akhlak serta mendatangkan kerusakan.
Sedangkan dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa menikah sesuatu yang yang disukai oleh-Nya. Allah juga memerintah untuk membantu dalam mempermudah jalannya pernikahan tersebut. Karena nikah merupakan sesuatu yang baik bagi orang mukmin untuk menjauhkan diri dan mencegah dari perbuatan zina, serta menjauh dari perbuatan yang tidak halal, sebab nikah satu-satunya cara untuk melanggengkan keturunan manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka ayat ini mendorong pemuda dan pemudi dengan melalui pernikahan dan mengajak mereka untuk menghapuskan segala hambatan yang menghambat jalannya pernikahan, baik itu berupa yang bersifat fasilitas maupun tidak. Inilah gambaran munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya.

Analisis Kandungan Hukum
Ada beberapa kandungan hukum yang ada di dalam ayat tersebut. Adapun rinciannya sebagai berikut:
Ayat tersebut ditujukan kepada siapa?
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum, maksudnya hai orang mukmin nikahkanlah orang yang belum berpasangan dari laki-laki dan perempuan yang merdeka. Ada pendapat lain bahwa ini ditujukan kepada wali merdeka saja, seperti orang tuanya,  pendapat ini diikuti oleh Al-Qurtubi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ini ditujukan pada para suami dengan alasan merekalah yang diperintah untuk menikah.
Apakah menikah itu wajib atau sunnah?
Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat:
Mazhab Al-Dhahiriyah: menikah itu wajib, maka akan mendapat dosa apabila ditinggalkan.
Dengan dalil dalam ayat tersebut menggunkan shighat amar (perintah) “وانكحوا” dan amar ini menunjukkan arti wajib, maka nikah hukumnya wajib. Serta dengan pernikahan ini dapat menghindarka diri dari keharaman, “suatu hal yang dapat menjadikan ketidaksempurnaan kecuali dengan hal itu,  maka hal tersebut juga wajib”.

 Mazhab Syafi’i: menikah itu mubah dan tidak dosa apabila ditinggalkan.
Denga dalil karena menikah itu suatu perbutan untuk memperoleh kesenagan dan syahwat, maka hal tersebut mubah seperti halnya makan dan minum.

Mazhab Jumhur (al-Malikiyah, al-Ahnaf dan al-Hanabilah): menikah itu  مستحب  dan  ومندوب, tidak wajib.
Dengan dalil:
Tidak dapat diingkari pada masa nabi dan seluruh masa sesudahnya, terdapat banyak laki-laki dan perempuan yang tidak menikah, dan nabi tidak mengingkari hal itu.
Hadits Nabi: أحب فطرتي فليستن بسنتي وإن من سنتي النكاح
Hadits Nabi: من رغب عن سنتي فليس مني

Al-Qurtubi berpendapat bahwa perbedaan pendapat tersebut karena perbedaan di lihat dari keadaan orang mukmin itu snediri. Jika ia takut akan kerusakan dalam agamanya atau dunianya maka menikah hukumnya wajib. Dan jika ia mampu mengendalikan diri (tidak takut akan agamanya) serta ada keluasan untuk menikahi orang merdeka, maka sunnah baginya. Sedangkan orang yang tidak keluasan maka sebisa mungkin ia menahan diri meskipun berpuasa, karena berpuasa adalah pemutus baginya.
Hasbi Ash-Shiddieqy juga memberi penjelasan bahwa perintah yang dikandung dalam ayat ini merupakan anjuran, bukan suatu keharusan, kecuali apabila hal itu telah diminta oleh si perempuannya sendiri. Dasarnya kita menetapka bahwa perintah ini bukanlah wajib karena kenyataan pada masa nabi sendiri terdapat orang-orang yang dibiarkan hidup membujang. Tetapi dapat dikatakan perintah di sini adalah wajib apabila dengan tidak menikah mereka yang bujang itu dikhawatirkan akan timbul fitnah. 

Dalam ayat وَلْيَسْتَعْفِفِ الذين لاَ يَجِدُونَ نِكَاحاً sebagai dalil larangan nikah mut’ah.
Apabila kita perhatikan susunan ayat-ayat ini dan dengan sebelumnya, Allah mula-mula menyuruh kita memelihara diri dari fitnah dan maksiat, yaitu seperti memejamkan mata dari melihat bagian tubuh lawan yang dilarang. Sesudah itu Allah menyuruh kita menikah untuk memelihara agama dan berikutnya menyuruh kita menahan diri dari hawa nafsu. Pada akhirnya Allah menyuruh kita menahan syahwat ketika kita tidak sanggup menyediakan keperluan yang dibutuhkan oleh suami istri sehingga mereka mendapatkan kesanggupan. Dengan begitu Allah memerintah kita untuk bersabar dari menikah, jika tidak mampu memberikan belanja keperluan rumah tangga nantinya. 
Dengan demikian bagi seseorang yang sudah berkeinginan kuat untuk menikah, sedangkan ia belum mempunyai harat maka bersabarlah menahan syahwatnya, bukan nya melakukan nikah mut’ah. Sebagaimana hadit Nabi:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Larangan melacur
Dalam firman Allah وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ, maksudnya janganlah kamu sekalian memaksa budak perempuanmua supaya mereka melacurka diri untuk mencari kekayaan, sedangkan mereka sesungguhnya tidak mau. Firman Allah ini tidak memberi pengertian bahwa larangan memaksa mereka melacur diri adalah jika mereka tidak menyukainya. Sebenarnya, walaupun mereka menyukainya, kita tetap tidak boleh menyuruh mereka untuk melacurkan diri. Sebagai dalam riwayat asbabul nuzul ayat ini diturunkan. 
Ibnu Mardawaih mengeluarkan riwayat dari Ali karamallu wajhah, bahwa pada masa jahiliah, orang-orang memaksa budak-budak wanitanya utnuk berzina atau melacur agar mereka dapat mengambil upahnya, lalu Islam turun melarang mereka berbuta demikian dan kahirnya turun hal tersebut.
 
Bagaimana yang dimaksud dengan pemaksaan untuk melacur di sini dan apakah dihilangkan hadnya sebab dipaksa bagi laki-laki dan perempuan?
Dalam firman Allah وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ bahwa pemaksaan di sini adalah sesuatu yang dapat mendatangkan kerusakan pada jiwa, seperti mengancam akan dibunuh atau juga sesuatu yang dapat merusak anggota tubuh. Adapun jika pemaksaan tersebut bersifat ringan maka itu tidak bisa dikatakan pemaksaan.
Sesungguhnya pemaksaan dapat menggugurkan pentaklifan bagi manusia dan dosa patut diberika kepada orang yang dipaksa. Dimana orang yang dalam keadaan dipaksa untuk melakukan zina maka dia sama halnya dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur. Dalam firman Allah إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بالإيمان, maksudnya jika seseorang itu dipaksa untuk melacur, tapi dia merasa senang maka itu tidak bisa dikatakan pemaksaan.
Sedangkan dalam penghilangan had, menurut Jumhur ulama mengatakan bahwa penghilangan had bagi laki-laki dan perempuan seperti dihilangkannya dosa dalam ayat di atas, karena hukumnya seorang laki-laki sama dengan hukumnya seorang perempuan. Ini berdasarkan hadits Nabi:
 عن أمتي الخطأ ، والنسيان ، وما اسْتُكرهوا عليه
Dalam hal ini Abu Hanifah menambahi bahwa jika seorang laki-laki dipaksa seorang perempuan maka itu juga tidak bisa dikatakan pemaksaan yang maksud di sini.

Hikmat al-Tasyri’
Allah mensyari’atkan pernikahan itu untuk mengatur manusia dengan tujuan mulia dan manfaat yang besar. Dan Allah memerintah untuk memudahkan jalannya pernikahan karena pernikahan cara yang tepat untuk mereproduksi keturunan, sehingga tersebar luas penduduk bumi dengan keturunan yang benar. Allah tidak menghendaki ada kekacauan di antara laki-laki dan perempuan, yang saling meninggalkan dan melantarkan seperti yang terjadi pada binatang. Tetapi dengan meletakkan peraturan tepat yang melindungi martabat manusia dan melestarikan kehormatan. Sehingga tercipta hubungan laki-laki dan perempuan dengan hubungan yang bersih dan murni atas dasar saling ridla. Dengan ini wanita akan merasa dilindungi dan aman.
Dengan cara ini merupakan cara yang paling aman untuk memuaskan dan memenuhi naluri dan syahwat yang bebas dari gangguan. Sebagaimana Allah mengizinkan mereka dan ini ditujukan dalam ayat:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(An-Nur: 22)
Pernikahan merupakan cara yang terbaik untuk memiliki anak, memperbanyak keturunan dan melanjutkan kehidupan dengan tetap menjaga garis keturunan. Rasulullah menggambarkan bahwa pernikahan adalah harta yang paling baik di kehidupan ini. “الدنيا متاعٌ وخيرُ متاعها المرأةُ الصالحة”. Bahkan Nabi juga pernah menyatakan bahwa wanita shalihah adalah harta yang tersimpan.
ألا أخبركم بخير ما يكنز المرء؟ المرأة الصالحة إن نظر إليها سرته ، وإن أمرها أطاعته ، وإن غاب عنها حفظته ف نفسها وماله.
Islam memerintah untuk memudahkan jalannya pernikahan agar kehidupan ini berjalan pada normalnya. Dan juga Islam memerintah menghilangkan semua hambatan dari berbagai segi, termasuk keuangan yang menjadi hambatan yang paling utama dalam membentuk rumah tangga. Maka dari itu Allah memperingatkan untuk tidak boleh berpaling dari pernikahan bagi orang miskin. Karena rezeki dibawah kekuasaan Allah, walaupun ia memilih untuk menahan diri. Maka dari itu, semua umat harus membantu mereka dalam proses pernikahannya dan juga membantu dalam menyediakan lapangan pekerjaan agar mereka tetap menjadi satu anggota kemasyarakatan yang tidak lumpuh.
Al-Qur’an memberikan kesempatan menikah bagi pemuda yang sudah siap, bagi yang belum siap Allah memerintahkan untuk menahan diri dari hal-hal yang haramm. Sebagaimana dalam ayat
  وَلْيَسْتَعْفِفِ الذين لاَ يَجِدُونَ نِكَاحاً حتى يُغْنِيَهُمُ الله مِن فَضْلِهِ.
Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan dan larangan pelacuran:
Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan ketentraman
Pernikahan dapat melahirkan keturunan secara sah dan terhormat.
Dengan pernikahan agama dapat terpelihara
Pernikahan dapat memelihara ketinggian martabat seorang wanita
Pernikahan dapat menjauhkan perzinahan

3 Responses to "TAFSIR AHKAM SURAT AN-NUR AYAT 32-34 (materi perkuliahan Akhwalusyaksiyyah)"